“You can’t kill an idea.” (Hal. 40)
Penulis: Pandji Pragiwaksono
Penyunting: Eka Saputra & Nurjannah Intan
Perancang & ilustrasi sampul: Anugerah
Pemeriksa Aksara: gabriel_sih
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: Kedua, Mei 2016
Jumlah hal.: xvi+284 halaman
ISBN: 978-602-291-143-2
Selama ini, saya selalu berkata bahwa saya mencintai Indonesia. Tak pernah ada sedikit pun keraguan. Hingga kemudian, saya memutuskan untuk menantang rasa cinta terhadap negara ini dengan membuat perbandingan-perbandingan. Saya harus melakukan perjalanan keliling dunia dan melihat dengan mata kepala sendiri, seperti apa situasi di luar sana.
Dan akhirnya, kesempatan itu tiba. Dari April 2014 sampai April 2015, saya melakukan perjalanan ke Singapura, Sydney, Melbourne, Adelaide, Brisbane, Gold Coast, Hong Kong, Makau, London, Liverpool, Manchester, Amsterdam, Leiden, Berlin, Guangzhou, Beijing, Tokyo, Kyoto, Los Angeles, dan San Fransisco.
Dua puluh kota. Delapan negara. Empat benua. Satu tahun.
Perjalanan saya membawa misi, mengenalkan dan mengenal kembali Indonesia melalui Mesakke Bangsaku World Tour. Setiap detail dan segala sesuatu yang saya lihat, dengar, dan rasakan di negara-negara tersebut, saya tuliskan dalam buku ini.
Lalu, setelah Anda selesai membacanya, coba tanyakan hal ini kepada diri Anda: Seperti apakah Indonesia yang selama ini saya kenal?
***
“Kenapa kita nggak bikin karya yang bagus dan bikin orang – orang jadi belajar bahasa Indonesia, sebagaimana orang Indonesia pada belajar bahasa Korea supaya ngerti lagu-lagu dan serial TV Korea?” (Hal. XV)
“Masalahnya, kunci untuk hasil yang optimal dalam mengerjakan sesuatu datang dari kemampuan untuk memahami perbedaan, mengakomodasi perbedaan pendapat tersebut dan meramunya menjadi kekuatan besar.” (Hal. 145)
Buku Menemukan Indonesia dengan tagline: 365 Hari. 20 Kota. 8 Negara. 4 Benua. 1 Buku ini sebenarnya bisa dikategorikan dalam genre traveling. Namun disuguhkan dengan cara yang berbeda. Tidak hanya melalui penuturan dari sudut pandang orang pertama yakni Pandji sendiri, namun juga melalui gaya bercerita yang kasual.
Membaca buku ini lebih terasa seperti sebagai sebuah cerita yang dituturkan oleh Pandji dalam sebuah percakapan. Ini karena yang dipakai adalah bahasa tutur. Hal ini sekaligus menjadikan buku ini mudah dipahami.
Dalam hal layout, tulisan di dalam buku ini cukup ramah mata. Selain itu penekanan dilakukan pada beberapa kalimat dalam setiap bab dengan mensettingnya sebagai quote yang ditulis dengan ukuran font yang lebih besar.
Yang membuat buku ini berbeda dari buku dengan genre traveling lainnya adalah
Baca selengkapnya »